Antara Papandayan dan Cikuray

Ah, rasanya sudah lama sekali saya ndak kelayapan ke tempat-tempat alam, naik gunung misalnya. Meskipun begitu, ada cerita yang masih teringat jelas. Dahulu kala, ketika saya masih berseragam putih abu-abu, saya sempat menjadi nomor satu daftar pencarian orang hilang oleh kawan-kawan di Gunung Panderman, Batu Malang. Semua pada sibuk mencari saya di atas, sementara saya sudah duduk manis menunggu mereka di pos bawah.

Kemarin itu, saya diajak Patkey, sang dewa kelayapan, bersama 2 anak buahnya ke Gunung Papandayan, Garut. Awalnya saya ogah-ogahan. Sampai pada dia bilang “Kenapa? Kamu merasa sudah terlalu tua atau terlalu gendut untuk naik gunung?” Tololnya, kok ya saya merasa tersinggung dan akhirnya termakan hasutan si bocah gondrong itu.

Begitulah, akhirnya malam hari kita berangkat dari terminal Kampung Rambutan menuju Garut. Pagi-pagi buta, kita sudah ada di gerbang menuju Gunung Papandayan. Oh ya, di gunung tersebut juga terdapat kawah belerang yang juga dijadikan tempat wisata.

Berangkat dari gerbang, kita menggunakan mobil pick up menuju pos barengan sama ibu-ibu penjual sayur mayur. Sempat diwarnai dengan mobil mogok sebentar karena ngebul. Gimana ndak ngebul, lha wong jalannya yang menanjak, ngangkut 10an orang dengan bawaan yg edan-edanan. Sompret sopir ini kalau ngejar setoran.. maki saya dalam hati.

Sampai di pos, biasanya orang-orang sebelum mendaki itu melakukan ritual sarapan pagi. Namun khayalan saya itu sirna setelah si Patkey mengajak sarapan nanti kalau sudah sampai di puncak, dan diamini oleh 2 adik kelas anak buahnya itu. Saya kalah voting.

Dalam keadaan seperti itu, dengan barang bawaan yg berat (carrier + perut), sudah bisa ditebak, saya terkapar di tengah jalan. Pemandangan kawah dan alamnya yang indah tetap ndak bisa membuat perut kenyang. Perjuangan yg melelahkan itu pun berakhir setelah sampai di puncak.

Keadaan badan sudah basah kuyup oleh keringat, napas masih ada walaupun tersengal hebat, dan otot-otot kaki sudah jerit-jerit meminta belas kasihan. Mengaso adalah obat terbaik. Apalagi sambil sarapan. Sedang enak-enaknya ngaso begitu, “Gimana kalau kita lanjut ke gunung Cikuray?” Ide gila si Patkey kumat lagi. Kupret..laknat..jahanam..hajinguk. Ini bocah ndak ngeliat saya masih terkapar apa ya? Eh, tapi saya belum terlalu tua untuk melanjutkan ide gila itu. Setelah sarapan, berangkatlah kita ke Cikuray.

Ternyata di Cikuray, Tuhan berkehendak lain. Dia menurunkan hujan yang sangat lebat seharian, sehingga menjadikan jalan agak licin. Jadinya, kita hanya bermalam di dekat stasiun televisi. Sambil nyeruput kopi dan menyantap mie instan, saya membayangkan parem kocok.

Leave a comment